Jamister memandang papan besar bertuliskan “Tanah Milik PT N, Tidak Boleh Dibangun Rumah Ibadah” yang berdiri tegak di lahan kosong, tempat ia berharap akan ada sebuah gereja suatu hari nanti.
Berbalik, ia menghela napas panjang, lalu menatap jalanan yang ramai. Betapa ironis, pikirnya. Di sini, di kota yang ia tinggali sejak tahun 1995, ia harus melangkah mundur setiap kali mencoba membangun sebuah tempat ibadah.
Saban minggu pagi, Jamister bersama ribuan warga Kristen lainnya dari Cilegon harus berbondong-bondong menuju Kota Serang, 50 kilometer jauhnya, demi bisa beribadah.
Tak jarang, sebagian besar di antara mereka pergi dengan sepeda motor, menempuh perjalanan lebih dari satu jam.
Lima belas tahun berlalu sejak pertama kali gereja di Cilegon mengajukan izin pembangunan. Kala itu, Jamister mengira prosesnya tak akan lama. Mereka hanya perlu mengumpulkan tanda tangan dari sejumlah warga, melengkapi dokumen, dan mengikuti Peraturan Bersama Menteri. Namun, proses yang tampaknya sederhana itu ternyata jauh lebih berliku dari yang dibayangkannya.
Ketika mereka mulai memasang pagar seng di lokasi tersebut pertanda pembangunan segera dimulai, tiba-tiba datang sekelompok orang dan menghancurkan pagar itu. Jamister tidak mengenal orang-orang itu, tapi ia tahu betul bahwa mereka bukanlah tetangga terdekat di sekitar lahan itu.
Jamister tersenyum tipis saat mengenang berbagai alasan yang diberikan pihak kelurahan untuk menunda surat izin. Pernah satu kali, mereka mengembalikan dokumen gereja hanya karena “salah ketik nomor KTP dan KK.” Tentu saja, gereja langsung memperbaiki kesalahan itu dan mengajukan ulang. Namun, tak lama kemudian, ada alasan lain lagi yang muncul, kali ini lebih samar—katanya ada intervensi dari beberapa pemuda desa yang menekan kelurahan agar tidak mengeluarkan surat apa pun.
“Padahal kami hanya minta izin untuk beribadah,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Jamister terus melangkah menuju lahan kosong itu, matanya menerawang jauh. Ia teringat sebuah kesepakatan lama antara gereja, PT N, dan wali kota pada masa itu. Waktu itu, mereka bersepakat untuk melakukan tukar guling lahan, dan wali kota bahkan memberikan jaminan tertulis bahwa di tanah tersebut boleh didirikan rumah ibadah. Namun kini, ketika semua janji itu terasa hanya seperti angin lalu, ia tak tahu harus mencari keadilan ke mana lagi.
“Pak Jamister, kenapa nggak di Serang aja?” tanya seorang tetangga suatu hari, sambil menyeringai. “Udah terbukti, di sini nggak diterima.”
“Karena ini juga kota kita. Kami sudah lama di sini,” jawab Jamister dengan nada tenang, meski ada nada getir yang tak bisa disembunyikan.
Dan begitulah, di Cilegon, kota tempat ia berdiam selama hampir tiga dekade, Jamister harus terus menunggu, menunggu keajaiban yang tak kunjung tiba. Setiap harinya, ia melihat kota itu terus berkembang, gedung-gedung menjulang tinggi, kawasan industri terus meluas, dan pusat-pusat perbelanjaan tumbuh subur. Tapi untuk satu bangunan sederhana—sebuah gereja kecil untuk tempat mereka beribadah—waktu terus berjalan tanpa ada kejelasan.
Jamister tertawa kecil, getir. Terkadang ia berpikir, mungkin Cilegon bukan tempat untuk sekadar membangun sebuah gereja. Mungkin yang layak dibangun di sini hanyalah mimpi, sementara kenyataan selalu dikorbankan di antara deretan peraturan dan dalih yang begitu teratur.
No comments:
Post a Comment