Aku ini pohon nangka yang tak banyak tanya, tak banyak kata.
Tugasku sederhana: menumbuhkan daun, memeluk bumi, lalu menyerahkan buah-buahku pada siapapun yang lapar atau sekadar lewat.
Tubuhku yang besar berjejal dengan pohon-pohon lain di Desa M di Bumi Multatuli yang menjadi naungan bagi sekumpulan ladang dan kebun yang penuh kehidupan.
Di sini, aku berdiri—hijau, tua, tenang, menyaksikan setiap musim berlalu, burung-burung singgah di dahan hingga bersarang dan para petani duduk beristirahat di tengah hari terik.
Namun, di Jumat pagi di bulan Januari itu, aku dan para petani kebun di sekitarku yang tak pernah siap dengan amuk yang datang tiba-tiba. Tak ada ampun, tak ada peringatan, hanya suara mesin yang meraung, menandai akhir dari hari yang sudah kami kenal.
Suara itu pertama kali memecah hening pagi dari kejauhan. Para petani yang awalnya tengah sibuk merapikan lahan, saling bertatapan dengan raut khawatir.
Di antara mereka, ada Kakek B, seorang lelaki tua yang sepanjang hidupnya hanya tahu ladang dan tanah. Aku sering melihatnya bersiul sembari memetik nangka dari cabang-cabang rendahku atau menatap ke langit seolah mencoba mencari jawaban dari langit biru di atas sana.
Hari itu, wajah Kakek B tidak menengadah lagi. Ia terus menunduk, tapi bukan untuk berdoa atau merenungi ladangnya seperti biasa. Tidak, kali ini ia berlari.
Tidak hanya Kakek B, para petani lain pun berlarian, seperti anak-anak dikejar hujan. Mereka berlari dengan membawa alat-alat sederhana—cangkul, keranjang anyaman bambu, atau sabit yang digenggam kuat-kuat—seperti itu bisa melawan raksasa dari logam yang semakin dekat.
Aku hanya pohon, tak bisa berlari, hanya bisa menggoyangkan cabang-cabangku pelan, memberi tanda pada orang-orang agar segera menjauh.
Tapi mereka terlalu sibuk menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan. Ladang kencur dan pisang, pohon pepaya yang baru saja berbuah, mereka menggali, menebas, dan memanen secepatnya dengan tangan gemetar.
Suara mesin itu makin mendekat. Para petani berpacu melawan waktu, mencoba menyelamatkan selembar daun, satu biji buah, sejumput kencur yang belum sempat dipetik. Tapi tenaga manusia selalu kalah. Tanah terguncang saat buldoser pertama menyeruduk, meluluhlantakkan tanaman yang belum sempat mereka panen, menumbangkan pohon-pohon yang sudah puluhan tahun menjadi tempat berteduh.
Aku melihat seorang ibu, dengan mata basah dan tangannya yang gemetar, merapikan kencur yang baru saja dipanen, mencoba menyelamatkan sebisa mungkin dari ladangnya sendiri.
Dan di saat itulah aku merasa tubuhku bergoyang semakin keras. Tanah di bawahku seakan berteriak, berontak, mencoba mempertahankan diriku dari raungan mesin yang semakin buas. Tetapi takdir telah memutuskan, buldoser melaju, dan aku roboh dengan bunyi berdebam yang dalam, seolah bumi juga menangis bersamaku.
Mulai hari itu, dendam kesumat menyala dari diriku, terhadap orang-orang dan mesin-mesin, terutama pada Si Penguasa yang bertolak pinggang menggiring mesin-mesin menerabas ladang, menghancurkan harapan panen para petani dengan dalih telah membeli lahan tersebut melalui kepala desa.
Membeli katanya! Padahal saban hari, aku mendengar percakapan di tengah terik matahari, petugas desa memaksa Kakek B untuk menandatangani untuk menjual ladang tempatku hidup dengan harga per meter tak lebih dari satu buah nangka yang dipetik dari dahan-dahanku.
Ternyata, tak habis di situ, penderitaanku belum selesai. Tubuhku yang terbujur tak lama kemudian diangkat, dipotong, dihaluskan, dijadikan balok-balok kayu yang rapi. Dalam diam aku menyaksikan, kini bukan lagi ladang dan petani yang jadi pemandanganku. Aku berubah menjadi bagian dari saung megah yang dibangun jauh dari tempatku tumbuh.
Di saung itu, mereka duduk berkelakar, Si Penguasa yang wajahnya yang kutemui di ladang di hari penggusuran itu, ternyata pemilik saung ini.
Suatu hari aku mendengar salah seorang dari tamu Si Penguasa yang dibawa ke saung itu tertawa, berbicara lantang tentang proyek-proyek, anggaran, dan kebijakan yang menurutnya akan menguntungkan.
Mereka membicarakan bagaimana jalan akan dibangun, industri akan tumbuh, dan, katanya, rakyat akan ikut sejahtera. Kata-kata itu terdengar indah, tetapi dari suara dan raut mereka, aku tahu tak ada sejumput pun niat tulus. Aku, yang dulu hidup bersama para petani, tahu betul bahwa janji-janji itu tak pernah sampai di ladang.
Kini, kayuku yang dulu memberi naungan pada keringat petani malah menjadi saksi bisu pertemuan rahasia, tempat siasat untuk merebut tanah dan uang rakyat dirancang.
Aku, yang tumbuh dari tanah desa, harus mendengar mereka berbicara tentang keuntungan dari proyek besar, tentang berapa luas lahan yang akan “dibebaskan,” betapa mudahnya harga ditekan, dan cara memaksa petani untuk rela melepaskan tanahnya.
Di saung ini, aku melihat wajah-wajah yang tak pernah mengerti arti sebatang pohon atau setangkai kencur bagi mereka yang mengeruk hidup dari tanah. Aku ingin berteriak, tetapi tak punya suara, tak punya bentuk lagi. Hanya potongan kayu yang digunakan untuk meja tempat mereka menuliskan kontrak dan kesepakatan.
Aku menjadi saksi bisu dari pengkhianatan. Aku teringat wajah para petani yang dulu berlarian, menangis, dan mengais harapan dari tanah yang dibasahi keringat dan air mata kala itu.
Aku pohon nangka yang dendam kesumat menunggu waktu untuk membalas, menunggu kesempatan membuat perhitungan kepada Si Penguasa.
Kapak selalu lupa, pohon tak pernah lupa.
No comments:
Post a Comment