Karena Semua Dimulai Dengan Dibaca

BACA

Tuesday, 29 October 2024

Percakapan yang Terkubur di Bawah Jalan Cilenggang


 


Di suatu malam yang sunyi di Serpong, dua hantu duduk di tepi jalan yang dulunya menjadi saksi pertumpahan darah yang tidak sedikit. 

 

Kantil, yang kurus dengan sorot mata tajam dan berpakaian seperti santri dari masa lampau, duduk bersila di tepi jalan. Sementara Cubluk, tubuhnya besar dan kekar dengan sarung lusuh serta ikat kepala, bersandar pada tiang listrik. Mereka saksi bisu Palagan Serpong yang mulai terlupakan. Tak ada lagi senapan, tak ada lagi bambu runcing. Kini hanya tersisa jalan beraspal yang kadang ramai di siang hari dan lengang saat malam.

“Eh, Bluk,” Kantil menatap jalan kosong di hadapannya, seolah sedang mencari sesuatu. “Dulu tempat ini kan dibasahi darah. Ingat nggak waktu mereka maju menerjang? Takbir menggema, golok di tangan, sementara mereka, si bule dan ubel-ubel, duduk nyaman dengan senapan mesin di atas bukit sana.”

Cubluk mengangguk perlahan. “Tentu saja ingat, Kantil. Saat mereka maju menerjang seperti kebo larad. Tak ada rasa takut. aku masih ingat kata Kiai Ibrahim, ini jalan menuju surga. Tapi yang didapat, peluru bertubi-tubi,” gumamnya dengan nada getir.

Kantil mengangguk, menunduk, mengingat suara itu, suara peluru yang mengoyak daging dan mengubur takbir dalam teriakan kesakitan para santri dan pejuang. “Aku masih bisa mendengar suara itu, Bluk. Dulu mereka bilang ini kisah pendekar, jawara, santri yang tak kenal takut. Tapi peluru tidak peduli itu semua.”

Mereka terdiam, teringat peristiwa itu, saat ratusan santri dan jawara, laki-laki yang nekat menghadap Belanda dengan bambu runcing dan golok, mencoba mempertahankan tanah air mereka. Serangan itu terjadi pada 26 Mei 1946, dan meski Indonesia sudah merdeka, NICA kembali datang bersama pasukan sekutu dengan dalih melucuti Nipon, menduduki Serpong dan mengusik kehidupan warga. Pasukan dari Banten yang dipimpin oleh Kiai Ibrahim dan Abuya Tenjo berjalan kaki berhari-hari dari Lebak, Rangkasbitung, dan Parungpanjang, bersiap untuk menyerang markas NICA di perbukitan Serpong. Hanya dengan senjata seadanya, mereka maju menerjang pasukan sekutu yang bersenjata lengkap.

“Aku ingat, Kiai Ibrahim berdiri di depan. Baju putihnya berkibar, suaranya menggelegar. ‘Ini tanah kita, saudara-saudara! Lebih baik mati di sini daripada hidup di bawah telunjuk Belanda!’.” Kantil tersenyum getir.

“Aku masih ingat saat tubuh-tubuh bergelimpangan di tanah, berlumuran darah. Aku pikir, mungkin mereka akan memakamkan tubuh itu dengan layak. Tapi apa yang terjadi? Dikubur di satu lubang besar, ditaburi kapur agar jasad cepat hancur.” Kantil melipat tangan, nada bicaranya semakin dingin.

“Dan sekarang,” Cubluk menambahkan, “Liang kubur itu jadi jalan raya. Tak ada tanda, tak ada nama, hanya daging dan belulang lebur engan tanahg yang bertahan dalam sunyi. Mereka pikir jasad-jasad itu sudah dipindah ke TMP dekat kawasan industri, apa yang dipindah jika sudah lebur engan tanah?”

Kantil melirik Cubluk dengan seringai licik. “Dan sekarang, mereka ketakutan sendiri, merasa ada yang memperhatikan mereka tiap kali lewat sini.”

Cubluk terkekeh. “Mereka juga tak tahu apa-apa. Lihat, jalanan ini kadang sepi meski di siang hari. Orang-orang bilang ada yang salah, tapi mereka cuma menduga-duga, mengarang cerita kalau tempat ini angker. Lucu, kan?”

“Ah, Kantil, manusia memang mahluk pelupa. Mereka membangun monumen jauh dari sini, padahal medan tempurnya ya di sini. Mereka biarkan jalanan ini tanpa penghormatan sama sekali. Apa mereka pikir semua yang dilakukan jasad-jasad berlumur darah itu cuma main-main?”

Kantil menatap jauh ke arah bukit, ingatan tentang pertempuran itu kembali terlintas. “Aku ingat, Bluk, saat tubuh mereka tumbang."

Suara mobil melintas pelan di belakang mereka, mengeluarkan debu dan asap. Mata Kantil menyipit, memperhatikan mobil itu dengan tatapan sinis. “Eh, lihat itu. Mobil-mobil ini, mereka lewat di atas tulang-tulang yang lebur. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka cuma pikir ini jalan pintas, lebih cepat sampai ke Tangerang.”

“Biar saja, Kantil. Biar mereka merinding sedikit. Itu satu-satunya hiburan kita sekarang,” balas Cubluk sambil tertawa.

“Kau tahu, Bluk, aku kadang merasa geli sendiri melihat orang-orang yang ketakutan melewati sini. Mereka pikir para jasad-jasad itu cuma mau mengusik mereka. Padahal mereka inginkan cuma sekadar dikenang.”

“Ah, Kantil, manusia memang mahluk pelupa. Mereka kira sejarah cuma ada di buku, bukan di sini, di tanah yang mereka injak.”

Kantil mengangguk, senyum tipis di wajahnya. “Dan kita akan terus di sini, Bluk, sebagai saksi yang mereka abaikan. Sampai kapan? Entahlah. Mungkin sampai mereka sadar, atau mungkin sampai mereka benar-benar lupa.”

Cubluk menghela napas panjang, meski tak lagi bernapas. Keduanya terdiam, seolah membiarkan malam yang sunyi menjadi saksi, sekali lagi, atas kesunyian yang panjang. Bagi Kantil dan Cubluk, kematian bukan akhir. Mereka tetap ada di sana, di tengah jalan raya yang lengang, menyaksi sejarah yang terselip di balik aspal, menanti entah apa—mungkin pengakuan, mungkin sekadar perhatian. Tapi satu hal yang pasti, mereka tak akan pernah pergi.

Dan malam itu, ketika angin berembus pelan, terdengar samar suara-suara takbir, suara-suara golok beradu, dan desing peluru. Orang-orang yang melintas tak menyadarinya, tapi bagi Kantil dan Cubluk, itu adalah pengingat abadi. Bahwa pertempuran mereka, yang berdarah dan penuh pengorbanan, tak akan pernah mati, setidaknya di dalam kenangan dua arwah yang tak kunjung pergi.

No comments:

Post a Comment