Di tubuhku ada luka sekarang,
bertambah lebar juga, mengeluar darah,
di bekas dulu kau cium napsu dan garang;
lagi aku pun sangat lemah serta menyerah. CA 1946
Anggit menatap lautan kelam dari atas anjungan perahu kayu kecil dengan mesin tempel yang mereka tumpangi. Ombak yang meninggi, bukan yang mengganggu pikirannya.
“Laut ini, Git, makin lama makin buas,” gumam Arba sambil menatap garis horizon yang tak jelas dalam hujan yang menampar wajah-wajah empat orang di atas perahu itu.
“Tapi yang lebih buas lagi, hidup kita di darat.”
Anggit tersenyum tipis. “Memang, Ba. Laut kita lawan dengan tangan. Tapi pemilik perahu, penguasa, mereka itu tak bisa kita lawan dengan tangan kosong.”
Sudah sejak zaman dahulu, nenek moyang mereka di Banten ini hidup dalam tekanan mulai dari penindasan hingga kemiskinan. Mereka adalah rakyat kecil, nelayan miskin di pesisir selatan Banten, yang sejarahnya penuh penderitaan.
Anggit ingat cerita kakeknya tentang masa-masa ketika leluhur mereka diperas habis-habisan oleh penjajah dan penguasa lokal, seperti yang ditulis oleh Multatuli dalam Max Havelaar. Hasil bumi dan laut rakyat dikuras untuk kepentingan segelintir orang, sementara rakyat hanya mendapat sisa. Kini, penjajah mungkin sudah pergi, tapi penderitaan tetap ada—hanya wujudnya yang berupa beda.
“Zaman sudah merdeka,” kata Acil, yang duduk di geladak perahu sambil memeriksa jaring.
“Tapi kita seperti masih dijajah. Bedanya, sekarang yang menjajah bukan orang Belanda, tapi orang-orang kita sendiri.”
“Pemimpin daerah kita sibuk dengan keluarganya sendiri,” sambung Masita. “Dinasti politik yang cuma memperkaya diri mereka. Tuan perahu itu teman dekat bupati, tak ada yang berani melawan. Kalau kita tidak bisa bayar utang, kita tak boleh berlayar, kita bisa mati kelaparan.”
Anggit mengangguk, mendengarkan sambil tetap fokus pada lautan di depan.
“Aku tahu. Mereka tidak peduli sama kita. Mereka cuma mau duit. Kalau bukan karena kita punya utang, aku tidak akan memaksa kalian melaut dengan bensin secekak ini.”
Arba menatap Anggit dengan tatapan penuh pengertian.
“Kita tidak nyalahin kamu, Git. Kita semua tahu, kamu melaut bukan buat diri sendiri. Kamu punya Aisyah dan anakmu untuk dihidupi. Sama seperti kita semua, kita melaut buat keluarga kita. Orang harus tetap makan mau itu musim laut tenang maupun musim ombak besar seperti ini. Yang salah adalah mereka yang di atas sana, mereka harusnya mencari solusi bagaimana kita tidak perlu melaut di musim angin kencang seperti ini, tapi keluarga kita tetap bisa makan dan hidup. Mereka duduk nyaman di kursi empuk, sementara kita mati di laut. Sama seperti leluhur kita dulu mati di sawah dan tambak untuk para penguasa.”
Anggit terdiam. Kata-kata Arba benar. Sejarah penderitaan rakyat Banten ini panjang dan diwariskan. Bahkan setelah zaman kolonial berlalu, mereka tetap tertindas—bukan lagi oleh orang asing, tapi oleh penguasa dari bangsa mereka sendiri.
Para pemimpin daerah lebih peduli pada dinasti politik mereka, pada kroni-kroni mereka yang selalu mendapat proyek, pada kekayaan pribadi yang tak pernah cukup, sementara rakyat kecil seperti Anggit dan teman-temannya hanya menjadi angka dalam statistik kemiskinan yang tak pernah benar-benar diatasi.
“Kadang aku mikir,” Anggit mulai berbicara lagi, “buat apa kita hidup begini? Terus-terusan melawan ombak, melawan kemiskinan, melawan orang-orang yang tak pernah peduli sama kita. Padahal kita hanya minta bisa hidup layak. Kita tidak minta istana, cuma minta bisa makan, bisa menyekolahkan anak-anak kita. Tapi kenapa, untuk hidup layak saja, kita harus taruhan nyawa?”
Di rumah, Aisyah duduk di hilir mudik rumah ke dermaga, memeluk anaknya yang tertidur pulas lalu duduk termangu menatap hamparan laut nun jauh dan perahu-perahu kayu, tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut. Terombang-ambing ombak Samudera Hindia yang semakin buas.
Malam itu terlalu sepi. Anggit belum juga pulang, Aisyah dipenuhi kecemasan.
“Aku takut, Mak,” katanya pada Mak Iti tetangga yang datang menemaninya.
“Anggit belum pulang, padahal bensin yang dia bawa tidak cukup buat jauh. Mereka dipaksa berlayar dengan perahu yang sudah tua, bensinnya sedikit. Tapi kalau mereka tidak melaut, kita tidak bisa bayar utang perahu. Tuan perahu itu… dia tidak peduli sama kita.”
Mak Iti menghela napas panjang. “Begitulah hidup kita di sini, Sya. Sejak dulu sampai sekarang, rakyat kecil seperti kita selalu jadi korban. Waktu Belanda masih ada, kita diperas untuk kekayaan mereka. Sekarang, penguasa lokal kita sendiri yang menguras tenaga kita. Bupati, gubernur, semua lebih peduli sama keluarganya sendiri. Siapa yang bisa lawan? Kita ini siapa?”
Aisyah menunduk, air matanya mulai menggenang dari pipinya yang tersisa bekas luka sayat yang sudah lama mengering dan menyisakan bopeng.
“Aku dulu lari dari suami pertamaku karena dia jahat, Mak. Aku ditempeleng hampir setiap hari. Aku pikir, setelah menikah lagi dengan Anggit, hidupku akan lebih baik. Tapi ternyata… meski Anggit baik, hidup kami tetap saja keras. Setiap hari kami harus bertahan dari kekejaman yang tak kasat mata—dari utang yang menjerat, dari pemilik perahu yang serakah, dan dari laut yang semakin buas.”
Mak Iti mengangguk. “Kamu benar, Sya. Penguasa di sini cuma peduli sama kroninya, sama siapa yang bisa kasih keuntungan buat mereka. Sementara kita—rakyat kecil yang cuma bisa berharap pada laut—selalu dibiarkan sendirian menghadapi maut.”
Lima hari setelah Anggit dan teman-temannya melaut, kabar buruk datang. Jenazah Anggit dan Arba ditemukan terombang-ambing di laut, jauh dari perairan Banten, terdampar di Yogyakarta. Acil dan Masita selamat, tapi mereka hanya bisa berenang setelah perahu kehabisan bensin dan terseret arus.
Di pemakaman, Aisyah berdiri kaku di depan makam suaminya. Ia menangis sampai tak lagi bisa mengeluarkan air mata.
No comments:
Post a Comment