Asap PLTU
![]() |
Gambar: Muhamad Iqbal |
Di desa kecil bernama Bangunsari, dekat dengan batas pagar pembangkit listrik tenaga uap, Pak Darto duduk di bangku bambu menghadap ke kebun kosong. Dalam matanya yang kosong ia bergumam, dulu di sana tumbuh pohon jambu, pisang, dan jagung. Kini, hanya tanah menganga, berdebu, dan langit yang tak lagi biru.
“Dulu, suara malam hanya jangkrik,” katanya. “Sekarang, dengung turbin seperti mimpi buruk.”
Anaknya, Santi, pulang dari sekolah dengan seragam yang masih bau matahari dan asap.
“Bu guru bilang, kita ini korban pembangunan,” katanya polos.
Pak Darto tersenyum kecut. Ia tak tahu apakah sebutan itu membuatnya lebih mulia atau justru lebih terlupakan.
Sejak PLTU beroperasi, ia tak lagi menjemur ikan asin. Abu halus menempel di sisik, dan pelanggan enggan membeli. Istrinya kini membuat kerupuk rumahan, tapi bahkan itu pun terasa pahit jika dimakan sambil menghirup udara yang entah apa isinya.
“Kalau mati karena asap, masih masuk penerima bansos?” tanya Pak Darto suatu malam pada Pak RT, sambil tertawa pendek, seperti orang yang sudah terlalu lama menahan batuk.
“Masuk, asal tidak protes terlalu keras.”