Juru Baca

Karena Semua Dimulai Dengan Dibaca

BACA

Sunday, 8 June 2025

06:29

Asap PLTU

Gambar: Muhamad Iqbal

Di desa kecil bernama Bangunsari, dekat dengan batas pagar pembangkit listrik tenaga uap, Pak Darto duduk di bangku bambu menghadap ke kebun kosong. Dalam matanya yang kosong ia bergumam, dulu di sana tumbuh pohon jambu, pisang, dan jagung. Kini, hanya tanah menganga, berdebu, dan langit yang tak lagi biru.


“Dulu, suara malam hanya jangkrik,” katanya. “Sekarang, dengung turbin seperti mimpi buruk.”


Anaknya, Santi, pulang dari sekolah dengan seragam yang masih bau matahari dan asap.


“Bu guru bilang, kita ini korban pembangunan,” katanya polos.


Pak Darto tersenyum kecut. Ia tak tahu apakah sebutan itu membuatnya lebih mulia atau justru lebih terlupakan.


Sejak PLTU beroperasi, ia tak lagi menjemur ikan asin. Abu halus menempel di sisik, dan pelanggan enggan membeli. Istrinya kini membuat kerupuk rumahan, tapi bahkan itu pun terasa pahit jika dimakan sambil menghirup udara yang entah apa isinya.


“Kalau mati karena asap, masih masuk penerima bansos?” tanya Pak Darto suatu malam pada Pak RT, sambil tertawa pendek, seperti orang yang sudah terlalu lama menahan batuk.


“Masuk, asal tidak protes terlalu keras.”

Friday, 15 November 2024

19:21

Muhara

 


Malam itu, hujan turun seperti utang yang tak pernah lunas. Sungai Ciberang, yang dulu hanyalah aliran jernih tempat anak-anak bermain, kini menjadi ancaman besar yang menggeliat di bawah kaki bukit, menunggu saat yang tepat untuk menelan apa saja yang berdiri di tepinya. Kampung Muhara, yang pernah menjadi surga kecil bagi penghuninya, kini lebih menyerupai karnaval kesedihan dari sebuah alam yang balas dendam.

Fatimah menatap langit gelap yang terus-menerus menumpahkan hujan. Sungai di depan rumahnya meluap, menggigit tepian tanah dengan rakus, mengirimkan suara gemuruh yang tak mengenal kompromi. 

Ia memeluk anak-anaknya yang menggigil dalam tidur, matanya tak lepas dari pintu, seolah-olah siap berlari kapan saja.

“Ini hanya hujan, Fatimah,” kata Subadri, suaminya, sambil menatap sungai dengan ekspresi pasrah. “Sungai ini sudah ada sebelum kita, dan akan tetap ada setelah kita.”

“Tapi bukan begini,” jawab Fatimah tajam. “Bukan seperti monster yang siap menelan rumah kita kapan saja.”

Subadri tidak membalas. Ia tahu kata-katanya tidak bisa melawan kenyataan. Sungai itu memang berubah, begitu pula hujan. Dahulu, hujan adalah berkat yang membawa panen subur; sekarang, hujan adalah ancaman yang membuat mereka bertanya-tanya apakah mereka akan bertahan sampai pagi?

Fatimah tak bisa lagi mengingat kapan terakhir kali hujan terasa menyenangkan. Mungkin waktu ia masih kecil, berlari-lari di halaman sambil tertawa, tanpa takut air akan membawa semua yang dimilikinya. Tapi sekarang, ia hidup di antara mimpi buruk—mimpi yang menjadi kenyataan setiap kali langit mulai marah.

Krisis iklim? Kata itu terdengar asing di kampung ini. Yang mereka tahu hanyalah kenyataan: tanah semakin rapuh, sungai semakin liar, dan langit semakin murah hati menumpahkan bencananya. 

Orang-orang di kampung ini tidak pernah membaca laporan ilmiah tentang karbon atau grafik kenaikan suhu global. Mereka hanya tahu bahwa setiap tahun, sungai semakin dekat ke rumah mereka, dan hujan semakin lama, semakin deras.

Tetangga mereka, Pak Sarman, pernah bercanda pahit, “Mungkin ini hukuman karena kita terlalu banyak mengambil dari bumi. Tapi siapa yang tidak lapar? Kalau tidak menebang pohon, bagaimana kita hidup?”

Fatimah mendengarnya, tapi ia tidak tahu harus merasa apa. Ia tahu suaminya pernah bekerja di penambangan emas liar sebelum menjadi linmas. Ia tahu bagaimana hutan di atas bukit kini menjadi gundul, kehilangan pohon-pohon yang dulu menahan air. Tapi apa pilihan mereka? Ketika perut kosong, orang tidak berpikir tentang masa depan.

Malam itu, suara gemuruh semakin keras. Subadri keluar rumah, bergabung dengan para tetangga yang berkumpul di tepi sungai. Mereka berdiri di sana, menatap air yang mengamuk dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan ketidakberdayaan.

“Kalau begini terus, tahun depan mungkin kita sudah tidak punya rumah,” kata seseorang.

“Tahun depan?” jawab yang lain dengan getir. “Aku tidak yakin kita akan sampai ke bulan depan.”

Fatimah mendengar percakapan itu dari dalam rumah. Ia memandangi anak-anaknya yang tidur dengan tenang, tidak tahu apa-apa tentang dunia yang sedang runtuh di sekeliling mereka. Ia bertanya-tanya apa yang akan mereka warisi—tanah yang tak lagi subur, sungai yang menjadi ancaman, atau langit yang tak pernah berhenti menangis?

Subadri pulang saat malam semakin larut. Tubuhnya basah kuyup, wajahnya penuh kelelahan. Ia menatap istrinya yang duduk di lantai, memeluk anak-anak mereka.

“Besok kita harus pergi,” katanya.

“Pergi ke mana?” Fatimah bertanya, suaranya penuh kepahitan. “Semua tempat sama saja. Hujan ada di mana-mana. Air tidak peduli kita tinggal di sini atau di tempat lain.”

Subadri tidak menjawab. Ia tahu istrinya benar. Tapi ia juga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan.

Pagi harinya, mereka mulai mengemasi barang-barang. Tidak banyak yang bisa dibawa—hanya beberapa pakaian, sedikit makanan, dan beberapa foto keluarga yang sudah pudar warnanya.

Saat mereka berjalan menjauh dari rumah, Fatimah menoleh untuk terakhir kalinya. Rumah itu tampak kecil dan rapuh, berdiri di tepi sungai yang terus mengancam. Ia tahu mereka mungkin tidak akan pernah kembali.

Langit masih kelabu, dan hujan masih turun. Di kejauhan, suara gemuruh sungai terdengar seperti tawa—tawa yang penuh ejekan, seolah-olah bumi sedang menikmati penderitaan mereka. Fatimah menggenggam tangan anak-anaknya lebih erat, berjalan menuju ketidakpastian, dengan hati yang penuh luka dan pikiran yang dipenuhi pertanyaan: berapa lama lagi mereka bisa bertahan?

Friday, 1 November 2024

21:40

Cerita Pohon Nangka

 



Aku ini pohon nangka yang tak banyak tanya, tak banyak kata. 

 

Tugasku sederhana: menumbuhkan daun, memeluk bumi, lalu menyerahkan buah-buahku pada siapapun yang lapar atau sekadar lewat. 

 

Tubuhku yang besar berjejal dengan pohon-pohon lain di Desa M di Bumi Multatuli yang menjadi naungan bagi sekumpulan ladang dan kebun yang penuh kehidupan.

Di sini, aku berdiri—hijau, tua, tenang, menyaksikan setiap musim berlalu, burung-burung singgah di dahan hingga bersarang dan para petani duduk beristirahat di tengah hari terik.

Namun, di Jumat pagi di bulan Januari itu, aku dan para petani kebun di sekitarku yang tak pernah siap dengan amuk yang datang tiba-tiba. Tak ada ampun, tak ada peringatan, hanya suara mesin yang meraung, menandai akhir dari hari yang sudah kami kenal.

Suara itu pertama kali memecah hening pagi dari kejauhan. Para petani yang awalnya tengah sibuk merapikan lahan, saling bertatapan dengan raut khawatir.

Di antara mereka, ada Kakek B, seorang lelaki tua yang sepanjang hidupnya hanya tahu ladang dan tanah. Aku sering melihatnya bersiul sembari memetik nangka dari cabang-cabang rendahku atau menatap ke langit seolah mencoba mencari jawaban dari langit biru di atas sana.

Hari itu, wajah Kakek B tidak menengadah lagi. Ia terus menunduk, tapi bukan untuk berdoa atau merenungi ladangnya seperti biasa. Tidak, kali ini ia berlari. 

 

Tidak hanya Kakek B, para petani lain pun berlarian, seperti anak-anak dikejar hujan. Mereka berlari dengan membawa alat-alat sederhana—cangkul, keranjang anyaman bambu, atau sabit yang digenggam kuat-kuat—seperti itu bisa melawan raksasa dari logam yang semakin dekat.

Aku hanya pohon, tak bisa berlari, hanya bisa menggoyangkan cabang-cabangku pelan, memberi tanda pada orang-orang agar segera menjauh. 

 

Tapi mereka terlalu sibuk menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan. Ladang kencur dan pisang, pohon pepaya yang baru saja berbuah, mereka menggali, menebas, dan memanen secepatnya dengan tangan gemetar.

Suara mesin itu makin mendekat. Para petani berpacu melawan waktu, mencoba menyelamatkan selembar daun, satu biji buah, sejumput kencur yang belum sempat dipetik. Tapi tenaga manusia selalu kalah. Tanah terguncang saat buldoser pertama menyeruduk, meluluhlantakkan tanaman yang belum sempat mereka panen, menumbangkan pohon-pohon yang sudah puluhan tahun menjadi tempat berteduh.

Aku melihat seorang ibu, dengan mata basah dan tangannya yang gemetar, merapikan kencur yang baru saja dipanen, mencoba menyelamatkan sebisa mungkin dari ladangnya sendiri.

Dan di saat itulah aku merasa tubuhku bergoyang semakin keras. Tanah di bawahku seakan berteriak, berontak, mencoba mempertahankan diriku dari raungan mesin yang semakin buas. Tetapi takdir telah memutuskan, buldoser melaju, dan aku roboh dengan bunyi berdebam yang dalam, seolah bumi juga menangis bersamaku.

Mulai hari itu, dendam kesumat menyala dari diriku, terhadap orang-orang dan mesin-mesin, terutama pada Si Penguasa yang bertolak pinggang menggiring mesin-mesin menerabas ladang, menghancurkan harapan panen para petani dengan dalih telah membeli lahan tersebut melalui kepala desa.

Membeli katanya! Padahal saban hari, aku mendengar percakapan di tengah terik matahari, petugas desa memaksa Kakek B untuk menandatangani untuk menjual ladang tempatku hidup dengan harga per meter tak lebih dari satu buah nangka yang dipetik dari dahan-dahanku.

Ternyata, tak habis di situ, penderitaanku belum selesai. Tubuhku yang terbujur tak lama kemudian diangkat, dipotong, dihaluskan, dijadikan balok-balok kayu yang rapi. Dalam diam aku menyaksikan, kini bukan lagi ladang dan petani yang jadi pemandanganku. Aku berubah menjadi bagian dari saung megah yang dibangun jauh dari tempatku tumbuh.

Di saung itu, mereka duduk berkelakar, Si Penguasa yang wajahnya yang kutemui di ladang di hari penggusuran itu, ternyata pemilik saung ini.

Suatu hari aku mendengar salah seorang dari tamu Si Penguasa yang dibawa ke saung itu tertawa, berbicara lantang tentang proyek-proyek, anggaran, dan kebijakan yang menurutnya akan menguntungkan.

Mereka membicarakan bagaimana jalan akan dibangun, industri akan tumbuh, dan, katanya, rakyat akan ikut sejahtera. Kata-kata itu terdengar indah, tetapi dari suara dan raut mereka, aku tahu tak ada sejumput pun niat tulus. Aku, yang dulu hidup bersama para petani, tahu betul bahwa janji-janji itu tak pernah sampai di ladang.

Kini, kayuku yang dulu memberi naungan pada keringat petani malah menjadi saksi bisu pertemuan rahasia, tempat siasat untuk merebut tanah dan uang rakyat dirancang. 

Aku, yang tumbuh dari tanah desa, harus mendengar mereka berbicara tentang keuntungan dari proyek besar, tentang berapa luas lahan yang akan “dibebaskan,” betapa mudahnya harga ditekan, dan cara memaksa petani untuk rela melepaskan tanahnya.

Di saung ini, aku melihat wajah-wajah yang tak pernah mengerti arti sebatang pohon atau setangkai kencur bagi mereka yang mengeruk hidup dari tanah. Aku ingin berteriak, tetapi tak punya suara, tak punya bentuk lagi. Hanya potongan kayu yang digunakan untuk meja tempat mereka menuliskan kontrak dan kesepakatan.

Aku menjadi saksi bisu dari pengkhianatan. Aku teringat wajah para petani yang dulu berlarian, menangis, dan mengais harapan dari tanah yang dibasahi keringat dan air mata kala itu.

Aku pohon nangka yang dendam kesumat menunggu waktu untuk membalas, menunggu kesempatan membuat perhitungan kepada Si Penguasa. 

 

Kapak selalu lupa, pohon tak pernah lupa.

Tuesday, 29 October 2024

21:50

Percakapan yang Terkubur di Bawah Jalan Cilenggang


 


Di suatu malam yang sunyi di Serpong, dua hantu duduk di tepi jalan yang dulunya menjadi saksi pertumpahan darah yang tidak sedikit. 

 

Kantil, yang kurus dengan sorot mata tajam dan berpakaian seperti santri dari masa lampau, duduk bersila di tepi jalan. Sementara Cubluk, tubuhnya besar dan kekar dengan sarung lusuh serta ikat kepala, bersandar pada tiang listrik. Mereka saksi bisu Palagan Serpong yang mulai terlupakan. Tak ada lagi senapan, tak ada lagi bambu runcing. Kini hanya tersisa jalan beraspal yang kadang ramai di siang hari dan lengang saat malam.

“Eh, Bluk,” Kantil menatap jalan kosong di hadapannya, seolah sedang mencari sesuatu. “Dulu tempat ini kan dibasahi darah. Ingat nggak waktu mereka maju menerjang? Takbir menggema, golok di tangan, sementara mereka, si bule dan ubel-ubel, duduk nyaman dengan senapan mesin di atas bukit sana.”

Cubluk mengangguk perlahan. “Tentu saja ingat, Kantil. Saat mereka maju menerjang seperti kebo larad. Tak ada rasa takut. aku masih ingat kata Kiai Ibrahim, ini jalan menuju surga. Tapi yang didapat, peluru bertubi-tubi,” gumamnya dengan nada getir.

Kantil mengangguk, menunduk, mengingat suara itu, suara peluru yang mengoyak daging dan mengubur takbir dalam teriakan kesakitan para santri dan pejuang. “Aku masih bisa mendengar suara itu, Bluk. Dulu mereka bilang ini kisah pendekar, jawara, santri yang tak kenal takut. Tapi peluru tidak peduli itu semua.”

Mereka terdiam, teringat peristiwa itu, saat ratusan santri dan jawara, laki-laki yang nekat menghadap Belanda dengan bambu runcing dan golok, mencoba mempertahankan tanah air mereka. Serangan itu terjadi pada 26 Mei 1946, dan meski Indonesia sudah merdeka, NICA kembali datang bersama pasukan sekutu dengan dalih melucuti Nipon, menduduki Serpong dan mengusik kehidupan warga. Pasukan dari Banten yang dipimpin oleh Kiai Ibrahim dan Abuya Tenjo berjalan kaki berhari-hari dari Lebak, Rangkasbitung, dan Parungpanjang, bersiap untuk menyerang markas NICA di perbukitan Serpong. Hanya dengan senjata seadanya, mereka maju menerjang pasukan sekutu yang bersenjata lengkap.

“Aku ingat, Kiai Ibrahim berdiri di depan. Baju putihnya berkibar, suaranya menggelegar. ‘Ini tanah kita, saudara-saudara! Lebih baik mati di sini daripada hidup di bawah telunjuk Belanda!’.” Kantil tersenyum getir.

“Aku masih ingat saat tubuh-tubuh bergelimpangan di tanah, berlumuran darah. Aku pikir, mungkin mereka akan memakamkan tubuh itu dengan layak. Tapi apa yang terjadi? Dikubur di satu lubang besar, ditaburi kapur agar jasad cepat hancur.” Kantil melipat tangan, nada bicaranya semakin dingin.

“Dan sekarang,” Cubluk menambahkan, “Liang kubur itu jadi jalan raya. Tak ada tanda, tak ada nama, hanya daging dan belulang lebur engan tanahg yang bertahan dalam sunyi. Mereka pikir jasad-jasad itu sudah dipindah ke TMP dekat kawasan industri, apa yang dipindah jika sudah lebur engan tanah?”

Kantil melirik Cubluk dengan seringai licik. “Dan sekarang, mereka ketakutan sendiri, merasa ada yang memperhatikan mereka tiap kali lewat sini.”

Cubluk terkekeh. “Mereka juga tak tahu apa-apa. Lihat, jalanan ini kadang sepi meski di siang hari. Orang-orang bilang ada yang salah, tapi mereka cuma menduga-duga, mengarang cerita kalau tempat ini angker. Lucu, kan?”

“Ah, Kantil, manusia memang mahluk pelupa. Mereka membangun monumen jauh dari sini, padahal medan tempurnya ya di sini. Mereka biarkan jalanan ini tanpa penghormatan sama sekali. Apa mereka pikir semua yang dilakukan jasad-jasad berlumur darah itu cuma main-main?”

Kantil menatap jauh ke arah bukit, ingatan tentang pertempuran itu kembali terlintas. “Aku ingat, Bluk, saat tubuh mereka tumbang."

Suara mobil melintas pelan di belakang mereka, mengeluarkan debu dan asap. Mata Kantil menyipit, memperhatikan mobil itu dengan tatapan sinis. “Eh, lihat itu. Mobil-mobil ini, mereka lewat di atas tulang-tulang yang lebur. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka cuma pikir ini jalan pintas, lebih cepat sampai ke Tangerang.”

“Biar saja, Kantil. Biar mereka merinding sedikit. Itu satu-satunya hiburan kita sekarang,” balas Cubluk sambil tertawa.

“Kau tahu, Bluk, aku kadang merasa geli sendiri melihat orang-orang yang ketakutan melewati sini. Mereka pikir para jasad-jasad itu cuma mau mengusik mereka. Padahal mereka inginkan cuma sekadar dikenang.”

“Ah, Kantil, manusia memang mahluk pelupa. Mereka kira sejarah cuma ada di buku, bukan di sini, di tanah yang mereka injak.”

Kantil mengangguk, senyum tipis di wajahnya. “Dan kita akan terus di sini, Bluk, sebagai saksi yang mereka abaikan. Sampai kapan? Entahlah. Mungkin sampai mereka sadar, atau mungkin sampai mereka benar-benar lupa.”

Cubluk menghela napas panjang, meski tak lagi bernapas. Keduanya terdiam, seolah membiarkan malam yang sunyi menjadi saksi, sekali lagi, atas kesunyian yang panjang. Bagi Kantil dan Cubluk, kematian bukan akhir. Mereka tetap ada di sana, di tengah jalan raya yang lengang, menyaksi sejarah yang terselip di balik aspal, menanti entah apa—mungkin pengakuan, mungkin sekadar perhatian. Tapi satu hal yang pasti, mereka tak akan pernah pergi.

Dan malam itu, ketika angin berembus pelan, terdengar samar suara-suara takbir, suara-suara golok beradu, dan desing peluru. Orang-orang yang melintas tak menyadarinya, tapi bagi Kantil dan Cubluk, itu adalah pengingat abadi. Bahwa pertempuran mereka, yang berdarah dan penuh pengorbanan, tak akan pernah mati, setidaknya di dalam kenangan dua arwah yang tak kunjung pergi.

Saturday, 26 October 2024

21:53

Membangun Iman di Kota yang Mengunci Pintu

 


Jamister memandang papan besar bertuliskan “Tanah Milik PT N, Tidak Boleh Dibangun Rumah Ibadah” yang berdiri tegak di lahan kosong, tempat ia berharap akan ada sebuah gereja suatu hari nanti. 

 

Berbalik, ia menghela napas panjang, lalu menatap jalanan yang ramai. Betapa ironis, pikirnya. Di sini, di kota yang ia tinggali sejak tahun 1995, ia harus melangkah mundur setiap kali mencoba membangun sebuah tempat ibadah.

Saban minggu pagi, Jamister bersama ribuan warga Kristen lainnya dari Cilegon harus berbondong-bondong menuju Kota Serang, 50 kilometer jauhnya, demi bisa beribadah. 

Tak jarang, sebagian besar di antara mereka pergi dengan sepeda motor, menempuh perjalanan lebih dari satu jam.

Lima belas tahun berlalu sejak pertama kali gereja di Cilegon mengajukan izin pembangunan. Kala itu, Jamister mengira prosesnya tak akan lama. Mereka hanya perlu mengumpulkan tanda tangan dari sejumlah warga, melengkapi dokumen, dan mengikuti Peraturan Bersama Menteri. Namun, proses yang tampaknya sederhana itu ternyata jauh lebih berliku dari yang dibayangkannya.

Ketika mereka mulai memasang pagar seng di lokasi tersebut pertanda pembangunan segera dimulai, tiba-tiba datang sekelompok orang dan menghancurkan pagar itu. Jamister tidak mengenal orang-orang itu, tapi ia tahu betul bahwa mereka bukanlah tetangga terdekat di sekitar lahan itu.

Jamister tersenyum tipis saat mengenang berbagai alasan yang diberikan pihak kelurahan untuk menunda surat izin. Pernah satu kali, mereka mengembalikan dokumen gereja hanya karena “salah ketik nomor KTP dan KK.” Tentu saja, gereja langsung memperbaiki kesalahan itu dan mengajukan ulang. Namun, tak lama kemudian, ada alasan lain lagi yang muncul, kali ini lebih samar—katanya ada intervensi dari beberapa pemuda desa yang menekan kelurahan agar tidak mengeluarkan surat apa pun.

“Padahal kami hanya minta izin untuk beribadah,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Jamister terus melangkah menuju lahan kosong itu, matanya menerawang jauh. Ia teringat sebuah kesepakatan lama antara gereja, PT N, dan wali kota pada masa itu. Waktu itu, mereka bersepakat untuk melakukan tukar guling lahan, dan wali kota bahkan memberikan jaminan tertulis bahwa di tanah tersebut boleh didirikan rumah ibadah. Namun kini, ketika semua janji itu terasa hanya seperti angin lalu, ia tak tahu harus mencari keadilan ke mana lagi.

“Pak Jamister, kenapa nggak di Serang aja?” tanya seorang tetangga suatu hari, sambil menyeringai. “Udah terbukti, di sini nggak diterima.”

“Karena ini juga kota kita. Kami sudah lama di sini,” jawab Jamister dengan nada tenang, meski ada nada getir yang tak bisa disembunyikan.

Dan begitulah, di Cilegon, kota tempat ia berdiam selama hampir tiga dekade, Jamister harus terus menunggu, menunggu keajaiban yang tak kunjung tiba. Setiap harinya, ia melihat kota itu terus berkembang, gedung-gedung menjulang tinggi, kawasan industri terus meluas, dan pusat-pusat perbelanjaan tumbuh subur. Tapi untuk satu bangunan sederhana—sebuah gereja kecil untuk tempat mereka beribadah—waktu terus berjalan tanpa ada kejelasan.

Jamister tertawa kecil, getir. Terkadang ia berpikir, mungkin Cilegon bukan tempat untuk sekadar membangun sebuah gereja. Mungkin yang layak dibangun di sini hanyalah mimpi, sementara kenyataan selalu dikorbankan di antara deretan peraturan dan dalih yang begitu teratur.

Saturday, 19 October 2024

21:59

Kabar Dari Laut


 

Di tubuhku ada luka sekarang,

bertambah lebar juga, mengeluar darah,

di bekas dulu kau cium napsu dan garang;

lagi aku pun sangat lemah serta menyerah. CA 1946


Anggit menatap lautan kelam dari atas anjungan perahu kayu kecil dengan mesin  tempel yang mereka tumpangi. Ombak yang meninggi, bukan yang mengganggu pikirannya.

“Laut ini, Git, makin lama makin buas,” gumam Arba sambil menatap garis horizon yang tak jelas dalam hujan yang menampar wajah-wajah empat orang di atas perahu itu.

“Tapi yang lebih buas lagi, hidup kita di darat.”

Anggit tersenyum tipis. “Memang, Ba. Laut kita lawan dengan tangan. Tapi pemilik perahu, penguasa, mereka itu tak bisa kita lawan dengan tangan kosong.”

Sudah sejak zaman dahulu, nenek moyang mereka di Banten ini hidup dalam tekanan mulai dari penindasan hingga kemiskinan. Mereka adalah rakyat kecil, nelayan miskin di pesisir selatan Banten, yang sejarahnya penuh penderitaan.

Anggit ingat cerita kakeknya tentang masa-masa ketika leluhur mereka diperas habis-habisan oleh penjajah dan penguasa lokal, seperti yang ditulis oleh Multatuli dalam Max Havelaar. Hasil bumi dan laut rakyat dikuras untuk kepentingan segelintir orang, sementara rakyat hanya mendapat sisa. Kini, penjajah mungkin sudah pergi, tapi penderitaan tetap ada—hanya wujudnya yang berupa beda.

“Zaman sudah merdeka,” kata Acil, yang duduk di geladak perahu sambil memeriksa jaring.

“Tapi kita seperti masih dijajah. Bedanya, sekarang yang menjajah bukan orang Belanda, tapi orang-orang kita sendiri.”

“Pemimpin daerah kita sibuk dengan keluarganya sendiri,” sambung Masita. “Dinasti politik yang cuma memperkaya diri mereka. Tuan perahu itu teman dekat bupati, tak ada yang berani melawan. Kalau kita tidak bisa bayar utang, kita tak boleh berlayar, kita bisa mati kelaparan.”

Anggit mengangguk, mendengarkan sambil tetap fokus pada lautan di depan.

“Aku tahu. Mereka tidak peduli sama kita. Mereka cuma mau duit. Kalau bukan karena kita punya utang, aku tidak akan memaksa kalian melaut dengan bensin secekak ini.”

Arba menatap Anggit dengan tatapan penuh pengertian.

“Kita tidak nyalahin kamu, Git. Kita semua tahu, kamu melaut bukan buat diri sendiri. Kamu punya Aisyah dan anakmu untuk dihidupi. Sama seperti kita semua, kita melaut buat keluarga kita. Orang harus tetap makan mau itu musim laut tenang maupun musim ombak besar seperti ini. Yang salah adalah mereka yang di atas sana, mereka harusnya mencari solusi bagaimana kita tidak perlu melaut di musim angin kencang seperti ini, tapi keluarga kita tetap bisa makan dan hidup. Mereka duduk nyaman di kursi empuk, sementara kita mati di laut. Sama seperti leluhur kita dulu mati di sawah dan tambak untuk para penguasa.”

Anggit terdiam. Kata-kata Arba benar. Sejarah penderitaan rakyat Banten ini panjang dan diwariskan. Bahkan setelah zaman kolonial berlalu, mereka tetap tertindas—bukan lagi oleh orang asing, tapi oleh penguasa dari bangsa mereka sendiri.

Para pemimpin daerah lebih peduli pada dinasti politik mereka, pada kroni-kroni mereka yang selalu mendapat proyek, pada kekayaan pribadi yang tak pernah cukup, sementara rakyat kecil seperti Anggit dan teman-temannya hanya menjadi angka dalam statistik kemiskinan yang tak pernah benar-benar diatasi.

“Kadang aku mikir,” Anggit mulai berbicara lagi, “buat apa kita hidup begini? Terus-terusan melawan ombak, melawan kemiskinan, melawan orang-orang yang tak pernah peduli sama kita. Padahal kita hanya minta bisa hidup layak. Kita tidak minta istana, cuma minta bisa makan, bisa menyekolahkan anak-anak kita. Tapi kenapa, untuk hidup layak saja, kita harus taruhan nyawa?”

Di rumah, Aisyah duduk di hilir mudik rumah ke dermaga, memeluk anaknya yang tertidur pulas lalu duduk termangu menatap hamparan laut nun jauh dan perahu-perahu kayu, tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut. Terombang-ambing ombak Samudera Hindia yang semakin buas.

Malam itu terlalu sepi. Anggit belum juga pulang, Aisyah dipenuhi kecemasan.

“Aku takut, Mak,” katanya pada Mak Iti tetangga yang datang menemaninya.

“Anggit belum pulang, padahal bensin yang dia bawa tidak cukup buat jauh. Mereka dipaksa berlayar dengan perahu yang sudah tua, bensinnya sedikit. Tapi kalau mereka tidak melaut, kita tidak bisa bayar utang perahu. Tuan perahu itu… dia tidak peduli sama kita.”

Mak Iti menghela napas panjang. “Begitulah hidup kita di sini, Sya. Sejak dulu sampai sekarang, rakyat kecil seperti kita selalu jadi korban. Waktu Belanda masih ada, kita diperas untuk kekayaan mereka. Sekarang, penguasa lokal kita sendiri yang menguras tenaga kita. Bupati, gubernur, semua lebih peduli sama keluarganya sendiri. Siapa yang bisa lawan? Kita ini siapa?”

Aisyah menunduk, air matanya mulai menggenang dari pipinya yang tersisa bekas luka sayat yang sudah lama mengering dan menyisakan bopeng.

“Aku dulu lari dari suami pertamaku karena dia jahat, Mak. Aku ditempeleng hampir setiap hari. Aku pikir, setelah menikah lagi dengan Anggit, hidupku akan lebih baik. Tapi ternyata… meski Anggit baik, hidup kami tetap saja keras. Setiap hari kami harus bertahan dari kekejaman yang tak kasat mata—dari utang yang menjerat, dari pemilik perahu yang serakah, dan dari laut yang semakin buas.”

Mak Iti mengangguk. “Kamu benar, Sya. Penguasa di sini cuma peduli sama kroninya, sama siapa yang bisa kasih keuntungan buat mereka. Sementara kita—rakyat kecil yang cuma bisa berharap pada laut—selalu dibiarkan sendirian menghadapi maut.”

Lima hari setelah Anggit dan teman-temannya melaut, kabar buruk datang. Jenazah Anggit dan Arba ditemukan terombang-ambing di laut, jauh dari perairan Banten, terdampar di Yogyakarta. Acil dan Masita selamat, tapi mereka hanya bisa berenang setelah perahu kehabisan bensin dan terseret arus.

Di pemakaman, Aisyah berdiri kaku di depan makam suaminya. Ia menangis sampai tak lagi bisa mengeluarkan air mata.