Karena Semua Dimulai Dengan Dibaca

BACA

Friday, 15 November 2024

Muhara

 


Malam itu, hujan turun seperti utang yang tak pernah lunas. Sungai Ciberang, yang dulu hanyalah aliran jernih tempat anak-anak bermain, kini menjadi ancaman besar yang menggeliat di bawah kaki bukit, menunggu saat yang tepat untuk menelan apa saja yang berdiri di tepinya. Kampung Muhara, yang pernah menjadi surga kecil bagi penghuninya, kini lebih menyerupai karnaval kesedihan dari sebuah alam yang balas dendam.

Fatimah menatap langit gelap yang terus-menerus menumpahkan hujan. Sungai di depan rumahnya meluap, menggigit tepian tanah dengan rakus, mengirimkan suara gemuruh yang tak mengenal kompromi. 

Ia memeluk anak-anaknya yang menggigil dalam tidur, matanya tak lepas dari pintu, seolah-olah siap berlari kapan saja.

“Ini hanya hujan, Fatimah,” kata Subadri, suaminya, sambil menatap sungai dengan ekspresi pasrah. “Sungai ini sudah ada sebelum kita, dan akan tetap ada setelah kita.”

“Tapi bukan begini,” jawab Fatimah tajam. “Bukan seperti monster yang siap menelan rumah kita kapan saja.”

Subadri tidak membalas. Ia tahu kata-katanya tidak bisa melawan kenyataan. Sungai itu memang berubah, begitu pula hujan. Dahulu, hujan adalah berkat yang membawa panen subur; sekarang, hujan adalah ancaman yang membuat mereka bertanya-tanya apakah mereka akan bertahan sampai pagi?

Fatimah tak bisa lagi mengingat kapan terakhir kali hujan terasa menyenangkan. Mungkin waktu ia masih kecil, berlari-lari di halaman sambil tertawa, tanpa takut air akan membawa semua yang dimilikinya. Tapi sekarang, ia hidup di antara mimpi buruk—mimpi yang menjadi kenyataan setiap kali langit mulai marah.

Krisis iklim? Kata itu terdengar asing di kampung ini. Yang mereka tahu hanyalah kenyataan: tanah semakin rapuh, sungai semakin liar, dan langit semakin murah hati menumpahkan bencananya. 

Orang-orang di kampung ini tidak pernah membaca laporan ilmiah tentang karbon atau grafik kenaikan suhu global. Mereka hanya tahu bahwa setiap tahun, sungai semakin dekat ke rumah mereka, dan hujan semakin lama, semakin deras.

Tetangga mereka, Pak Sarman, pernah bercanda pahit, “Mungkin ini hukuman karena kita terlalu banyak mengambil dari bumi. Tapi siapa yang tidak lapar? Kalau tidak menebang pohon, bagaimana kita hidup?”

Fatimah mendengarnya, tapi ia tidak tahu harus merasa apa. Ia tahu suaminya pernah bekerja di penambangan emas liar sebelum menjadi linmas. Ia tahu bagaimana hutan di atas bukit kini menjadi gundul, kehilangan pohon-pohon yang dulu menahan air. Tapi apa pilihan mereka? Ketika perut kosong, orang tidak berpikir tentang masa depan.

Malam itu, suara gemuruh semakin keras. Subadri keluar rumah, bergabung dengan para tetangga yang berkumpul di tepi sungai. Mereka berdiri di sana, menatap air yang mengamuk dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan ketidakberdayaan.

“Kalau begini terus, tahun depan mungkin kita sudah tidak punya rumah,” kata seseorang.

“Tahun depan?” jawab yang lain dengan getir. “Aku tidak yakin kita akan sampai ke bulan depan.”

Fatimah mendengar percakapan itu dari dalam rumah. Ia memandangi anak-anaknya yang tidur dengan tenang, tidak tahu apa-apa tentang dunia yang sedang runtuh di sekeliling mereka. Ia bertanya-tanya apa yang akan mereka warisi—tanah yang tak lagi subur, sungai yang menjadi ancaman, atau langit yang tak pernah berhenti menangis?

Subadri pulang saat malam semakin larut. Tubuhnya basah kuyup, wajahnya penuh kelelahan. Ia menatap istrinya yang duduk di lantai, memeluk anak-anak mereka.

“Besok kita harus pergi,” katanya.

“Pergi ke mana?” Fatimah bertanya, suaranya penuh kepahitan. “Semua tempat sama saja. Hujan ada di mana-mana. Air tidak peduli kita tinggal di sini atau di tempat lain.”

Subadri tidak menjawab. Ia tahu istrinya benar. Tapi ia juga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan.

Pagi harinya, mereka mulai mengemasi barang-barang. Tidak banyak yang bisa dibawa—hanya beberapa pakaian, sedikit makanan, dan beberapa foto keluarga yang sudah pudar warnanya.

Saat mereka berjalan menjauh dari rumah, Fatimah menoleh untuk terakhir kalinya. Rumah itu tampak kecil dan rapuh, berdiri di tepi sungai yang terus mengancam. Ia tahu mereka mungkin tidak akan pernah kembali.

Langit masih kelabu, dan hujan masih turun. Di kejauhan, suara gemuruh sungai terdengar seperti tawa—tawa yang penuh ejekan, seolah-olah bumi sedang menikmati penderitaan mereka. Fatimah menggenggam tangan anak-anaknya lebih erat, berjalan menuju ketidakpastian, dengan hati yang penuh luka dan pikiran yang dipenuhi pertanyaan: berapa lama lagi mereka bisa bertahan?

No comments:

Post a Comment