Hari
ini, kudapati diriku masih duduk termenung diteras sebuah toko swalayan yang
tak lain tempat bekerjaku sebagai pelayan. Aku terpelencat kedalam pekerjaan ini sebagai konsekuensi perjanjian
tak tertulis dari ujung grutuan panjang ibuku. Yang tak habis-habis serinya. Macam
sinetron, yang pada pokonya, secara blak-blakan tidak menerimaku dirumah dalam
keadaan menganggur. Meski hanya sehari saja, tak sudi.
“anak
muda, sehat wal afiat, terang pikiran dan punya ijazah tidak bekerja? Sepatutnya disiram kopi panas!!!” Begitu
ancaman terakhir ibu.
Efek grutuan itu kadang masih marak sampai
saat ini, walau nyatanya aku sudah mempunyai pekerjaan.
Semua
itu karena ulah ayahku, yang saban hari selalu mendoktrin ibuku dengan berita-berita politik, yang dewasa ini kita ketahui selalu
menberitakan tentang ketidak becusan pemerintah. Salah mengurus negara lah, tentang masyarakat yang
semakin bertindak amoral lah. Yang kemudian akulah tempat kedua orang tuaku
menumpahkan semua kekecewaan atas kegagalan polikal sosial dan pribadi mereka
itu.
“semua
harga naik, akibat harga bbm naik.rupiah anjlok inflasi terjadi” dalam
caciannya terhadap pemerintah itu adiku yang masih duduk di kelas 2 smp menyela
dengan pertanyaan.
“memang
inflasi itu apa bu?”
Atas
tanya itu, ibu berhenti atas makiannya terhadap pemerintah. Kulihat raut wajahnya
seperti peserta cerdas cermat sedang menyiapkan jawaban.
“pokonya
semua harga mahal!! Kau tak perlu bertanya jauh soal itu, itu belum pantas
untuk kau pelajari. Belum cukup umur” dengan sangat politis ibu menjawab.
Adik
mengangguk dengan khidmat
Dadaku
bergemuruh menahan tawa, aku bisa melihat gaya ibu menjawab, bak politikus pro
pemerintah menjawab pertanyaan politikus oposisi di acara debat, di televisi.
Kadang ingin aku menyangkal atau memperbaiki semua petisi tak tertulis itu.
Tapi siapa berani mengajukan intrupsi
saat ia ber-orasi. Adiku dengan khidmat
mendengarkan semua yang ibu keluarkan dari mulutnya, sedang aku tertunduk
menahan tawa hingga sesak dalam suasana mencekam itu.
Kadang
kala racauan ibu (sering ku sebut pendidikan politik), itu sampai pada hal-hal klenik. Tentang
pemimpin negara yang bersekutu dengan iblis dan menikahi iblis betina. Sungguh
sangat rasional dari politik, sosial, moral dan diakhiri kisah mistis yang
sangat klenik.
Keadaan
semakin tak menyenangkan. Yaitu ketika ibu menanyakan perihal pekerjaanku.
Tentang bagaimana aku bekerja, bagaimana rekan kerjaku dan semua hal yang walau
kujelaskanpun ia takan mengerti. Sangat fatal bagiku mengacuhkan semua
pertanyaannya. Kalau tidak, ia akan terus ngomel seakan-akan ada peternakan
omelan dalam mlutnya.
“ibu aku
ingin berwira usaha, aku lelah bekerja terus-terusan seperti ini”
“usaha
apa yang ingin kau buat?” dengan sarkatis
ibu menjawab
“ya
pokonya usaha bu aku, tidak ingin selamanya bekerja” jawabku lirih
“sudahkah
kau mempunyai modal untuk membuat usaha?”
Bibirku
beku, aku merasa wajahku sangat panas saat mendengar pertanyaan itu. Aku
terjebak dalam situasi mencekam oleh ulahku sendiri. Seperti menemukan topik
baru, seketika itu pula ibu muntab.
“dasar
tidak tahu rasa syukur!! Tidak bekerja kau mengeluh, sudah bekerja masih
mengeluh. Mau kau apa haah?? Berwira usaha?? Kemampuan belum ada, modal tak
ada. kau tidak berubah dari sma sampai saat ini kau kuliah, nekad. Dasar akal
pendek” dengan tangan dipinggang bahkan menurutku itu sudah sampai ketiak.. ibu
memuntahkan semua sumpah serapahnya tersebut kemudian ia memberi jeda pada
omelanya. Terlihat olehku ia sedang berpikir keras, seperti sedang
mengingat-ingat sesuatu.
“kau
dengarkan apa yang aku bicarakan ini baik-baik” begitu selang beberapa waktu ia
menyemprotku..seperti biasa ia harus mendapat jawaban yang meyakinkan. Tak cukup
hanya anggukan.
“ku
dengar, bu ku dengar,” jawabku sambil melenggang pergi ke kamar.
“bekerja
itu bukan suatu kesalahan, tetapi tanggung jawab hidup. Berwira usaha itu
pilihan, untuk menghindari keterbatasan. Kau ingat itu” dengan gaya motivator
ulung ibu menjawab. Entahlah dari acara tv yang mana, ia temukan kalimat itu. Sejujurnya
aku bahagia dalam keadaan mencekam itu. Ibu benar, ya aku membenarkan kalimat
ibu bahwa semua ini hanya cara kita menikmati hidup. Mungkin seperti itu
kiranya bila aku coba simpulkan.
Bahagia itu kita yang buat, cari
dan temukan cara untuk bahagia itu.
Kini aku
lega, bahwasanya acara televisi tidak
semua berdampak negativ terhadap ibu. Betapa aku menyayangi ibu atas semua hal
yang aku anggap kekonyolan itu.
![]() |
ibu yang menggendong anaknya (basuki abdullah) |
No comments:
Post a Comment