Karena Semua Dimulai Dengan Dibaca

BACA

Saturday, 15 August 2015

sisi gila II (seri helena)

Hari ini, kudapati diriku masih duduk termenung diteras sebuah toko swalayan yang tak lain tempat bekerjaku sebagai pelayan. Aku terpelencat kedalam pekerjaan ini sebagai konsekuensi perjanjian tak tertulis dari ujung grutuan  panjang ibuku. Yang tak habis-habis serinya. Macam sinetron, yang pada pokonya, secara blak-blakan tidak menerimaku dirumah dalam keadaan menganggur. Meski hanya sehari saja, tak sudi.

“anak muda, sehat wal afiat, terang pikiran dan punya ijazah tidak bekerja?  Sepatutnya disiram kopi panas!!!” Begitu ancaman terakhir ibu.

Efek grutuan itu kadang masih marak sampai saat ini, walau nyatanya aku sudah mempunyai pekerjaan.

Semua itu karena ulah ayahku, yang saban hari selalu mendoktrin ibuku dengan berita-berita politik,  yang dewasa ini kita ketahui selalu menberitakan tentang ketidak becusan pemerintah. Salah  mengurus negara lah, tentang masyarakat yang semakin bertindak amoral lah. Yang kemudian akulah tempat kedua orang tuaku menumpahkan semua kekecewaan atas kegagalan polikal sosial dan pribadi mereka itu.

“semua harga naik, akibat harga bbm naik.rupiah anjlok inflasi terjadi” dalam caciannya terhadap pemerintah itu adiku yang masih duduk di kelas 2 smp menyela dengan pertanyaan.

“memang inflasi itu apa bu?”

Atas tanya itu, ibu berhenti atas makiannya terhadap pemerintah. Kulihat raut wajahnya seperti peserta cerdas cermat sedang menyiapkan jawaban.

“pokonya semua harga mahal!! Kau tak perlu bertanya jauh soal itu, itu belum pantas untuk kau pelajari. Belum cukup umur” dengan sangat politis ibu menjawab.

Adik mengangguk dengan khidmat

Dadaku bergemuruh menahan tawa, aku bisa melihat gaya ibu menjawab, bak politikus pro pemerintah menjawab pertanyaan politikus oposisi di acara debat, di televisi. Kadang ingin aku menyangkal atau memperbaiki semua petisi tak tertulis itu. Tapi siapa berani mengajukan intrupsi  saat ia ber-orasi. Adiku dengan khidmat mendengarkan semua yang ibu keluarkan dari mulutnya, sedang aku tertunduk menahan tawa hingga sesak dalam suasana mencekam itu.

Kadang kala racauan ibu (sering ku sebut pendidikan politik),  itu sampai pada hal-hal klenik. Tentang pemimpin negara yang bersekutu dengan iblis dan menikahi iblis betina. Sungguh sangat rasional dari politik, sosial, moral dan diakhiri kisah mistis yang sangat klenik.

Keadaan semakin tak menyenangkan. Yaitu ketika ibu menanyakan perihal pekerjaanku. Tentang bagaimana aku bekerja, bagaimana rekan kerjaku dan semua hal yang walau kujelaskanpun ia takan mengerti. Sangat fatal bagiku mengacuhkan semua pertanyaannya. Kalau tidak, ia akan terus ngomel seakan-akan ada peternakan omelan dalam mlutnya.

“ibu aku ingin berwira usaha, aku lelah bekerja terus-terusan seperti ini”
“usaha apa yang ingin kau buat?” dengan sarkatis ibu menjawab
“ya pokonya usaha bu aku, tidak ingin selamanya bekerja”  jawabku lirih
“sudahkah kau mempunyai modal untuk membuat usaha?”

Bibirku beku, aku merasa wajahku sangat panas saat mendengar pertanyaan itu. Aku terjebak dalam situasi mencekam oleh ulahku sendiri. Seperti menemukan topik baru, seketika itu pula ibu muntab.

“dasar tidak tahu rasa syukur!! Tidak bekerja kau mengeluh, sudah bekerja masih mengeluh. Mau kau apa haah?? Berwira usaha?? Kemampuan belum ada, modal tak ada. kau tidak berubah dari sma sampai saat ini kau kuliah, nekad. Dasar akal pendek” dengan tangan dipinggang bahkan menurutku itu sudah sampai ketiak.. ibu memuntahkan semua sumpah serapahnya tersebut kemudian ia memberi jeda pada omelanya. Terlihat olehku ia sedang berpikir keras, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

“kau dengarkan apa yang aku bicarakan ini baik-baik” begitu selang beberapa waktu ia menyemprotku..seperti biasa ia harus mendapat jawaban yang meyakinkan. Tak cukup hanya anggukan.

“ku dengar, bu ku dengar,” jawabku sambil melenggang pergi ke kamar.
“bekerja itu bukan suatu kesalahan, tetapi tanggung jawab hidup. Berwira usaha itu pilihan, untuk menghindari keterbatasan. Kau ingat itu” dengan gaya motivator ulung ibu menjawab. Entahlah dari acara tv yang mana, ia temukan kalimat itu. Sejujurnya aku bahagia dalam keadaan mencekam itu. Ibu benar, ya aku membenarkan kalimat ibu bahwa semua ini hanya cara kita menikmati hidup. Mungkin seperti itu kiranya bila aku coba simpulkan.

Bahagia itu kita yang buat, cari dan temukan cara untuk bahagia itu.


Kini aku lega, bahwasanya acara televisi  tidak semua berdampak negativ terhadap ibu. Betapa aku menyayangi ibu atas semua hal yang aku anggap kekonyolan itu.
ibu yang menggendong anaknya (basuki abdullah)

No comments:

Post a Comment